Tingkat kerusakan hutan dan lahan di Nusa Tenggara Barat (NTB) masih
cukup tinggi, yakni mencapai 507 ribu hektar. Kerusakan itu meliputi 230
ribu hektar arena di kawasan hutan dan 277 ribu hektar di luar kawasan
hutan. Kerusakan itu pun mencapai 50 persen dari luas kawasan hutan di
NTB yang totalnya mencapai 1,07 juta hektar.
Kepala Dinas Kehutanan NTB, Andi Pramaria, mengatakan, luasnya kerusakan hutan tersebut tidak lepas dari jumlah warga miskin di NTB yaitu 894,7 ribu orang atau 19,73 persen dari jumlah penduduk. Sebagian besar berada di dalam dan sekitar hutan. "Tinggi ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya hutan," katanya, Selasa, 11 Februari 2014.
Tidak hanya kawasan hutan yang rusak. Ratusan titik mata air juga hilang, dari 700 titik mata air pada 1985 menjadi 178 titik mata air pada 2009.
Ia juga menyebut adanya banjir bandang yang berlangsung 20 Januari 2014 yang merendam tiga desa di Kecamatan Sambelia Kabupaten Lombok Timur. "Banjir ini karena kerusaka hutan seluas 200 hektar," ujar Andi.
Setiap hektarnya berkisar 200 pohon. Jadi keseluruhannya mencapai sekitar 40 ribu pohon sonokeling dan jati hasil reboisasi yang dilakukan pada tahun 80-an. Penebangan liar tersebut diakibatkan pemberian izin oleh aparat desa.
Project Leader WWF Indonesia Program Nusa Tenggara, Muhammad Ridha Hakim, menyesalkan ketidak-pedulian pemerintah daerah yang hanya sedikit menyediakan anggaran untuk pengawassan hutan. Ada yang hanya menyediakan Rp 50 juta sampai Rp 100 juta. "Ini berarti Rp 500 per hektar. Wajar kalau wajah hutan di sini seperti ini," kata Ridha Hakim.
Menurut Andi, kerusakan tersebut dari alasan sosial ekonomis disebabkan sebagai sumber mata pencaharian dan hubungan budaya. Untuk mengatasinya sudah dilakukan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL). Antara lain di kawasan hutan Santong di Kabupaten Lombok Utara yang terletak di lereng Rinjani.
Di sana, sejak 1997, sudah dirintis oleh pemerintah yang mengucurkan dana Rp 500 juta yang dipercayakan kepada Koperasi Tani Maju Bersama mengelola lahan seluas 759 hektar yang melibatkan 3.000 orang penduduk. Komoditi yang ditanam adalah kakao, vanili, kopi selain tanaman sirih sebagai produk yang bisa dipetik harian.
Sumber : Tempo.co
Kepala Dinas Kehutanan NTB, Andi Pramaria, mengatakan, luasnya kerusakan hutan tersebut tidak lepas dari jumlah warga miskin di NTB yaitu 894,7 ribu orang atau 19,73 persen dari jumlah penduduk. Sebagian besar berada di dalam dan sekitar hutan. "Tinggi ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya hutan," katanya, Selasa, 11 Februari 2014.
Tidak hanya kawasan hutan yang rusak. Ratusan titik mata air juga hilang, dari 700 titik mata air pada 1985 menjadi 178 titik mata air pada 2009.
Ia juga menyebut adanya banjir bandang yang berlangsung 20 Januari 2014 yang merendam tiga desa di Kecamatan Sambelia Kabupaten Lombok Timur. "Banjir ini karena kerusaka hutan seluas 200 hektar," ujar Andi.
Setiap hektarnya berkisar 200 pohon. Jadi keseluruhannya mencapai sekitar 40 ribu pohon sonokeling dan jati hasil reboisasi yang dilakukan pada tahun 80-an. Penebangan liar tersebut diakibatkan pemberian izin oleh aparat desa.
Project Leader WWF Indonesia Program Nusa Tenggara, Muhammad Ridha Hakim, menyesalkan ketidak-pedulian pemerintah daerah yang hanya sedikit menyediakan anggaran untuk pengawassan hutan. Ada yang hanya menyediakan Rp 50 juta sampai Rp 100 juta. "Ini berarti Rp 500 per hektar. Wajar kalau wajah hutan di sini seperti ini," kata Ridha Hakim.
Menurut Andi, kerusakan tersebut dari alasan sosial ekonomis disebabkan sebagai sumber mata pencaharian dan hubungan budaya. Untuk mengatasinya sudah dilakukan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL). Antara lain di kawasan hutan Santong di Kabupaten Lombok Utara yang terletak di lereng Rinjani.
Di sana, sejak 1997, sudah dirintis oleh pemerintah yang mengucurkan dana Rp 500 juta yang dipercayakan kepada Koperasi Tani Maju Bersama mengelola lahan seluas 759 hektar yang melibatkan 3.000 orang penduduk. Komoditi yang ditanam adalah kakao, vanili, kopi selain tanaman sirih sebagai produk yang bisa dipetik harian.
Sumber : Tempo.co
0 komentar:
Posting Komentar