Indonesia diprediksi akan mengalami krisis pangan di 2017. Hal ini bakal terjadi jika pemerintah tidak ada perhatian khusus pada sektor pertanian.

Apalagi dengan makin membesarnya ketergantungan Indonesia terhadap impor pangan, akan membuat kestabilan pangan nasional sangat rentan. Terlebih ketika terjadi gejolak harga pangan.

"Impor pangan terus membesar, ketika harga pangan naik, perekonomian bisa kolaps," ujar Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI), Dwi Andreas Santosa.

Menurutnya, ancaman tersebut didasarkan adanya perhitungan siklus kekeringan 10 tahunan yang melanda beberapa negara seperti Australia dan Amerika Serikat. "Ada siklus sepuluh tahunan tentang kekeringan. Itu akan memicu adanya krisis pangan," jelas dia.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan pemerintah memiliki program untuk meningkatkan produksi pangan, yaitu beras, jagung, gula, kedelai dan daging sapi. Dia menjelaskan langkah-langkah Rencana Aksi Bukittinggi, yang merupakan keterpaduan upaya antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan dunia usaha dalam meningkatkan ketahanan pangan Indonesia.

Presiden SBY optimis, Rencana Aksi Bukittinggi ini bisa diaplikasikan di seluruh Indonesia, karena rencana aksi tersebut jelas sasarannya, jelas siapa yang akan berkontribusi, dan dengan mekanisme seperti apa dijalankan. Termasuk penganggaran dari pemerintah pusat dan daerah.

Untuk memastikan implementasi Rencana Aksi Bukittinggi betul-betul terpadu, maka dalam rencana aksi tersebut pemerintah membentuk suatu gugus kendali yang akan memantau dan mengawasi. "Kalau ada masalah, juga akan membantu mencarikan solusi," kata SBY saat menutup keterangannya.

Namun, janji manis pemerintah ini tidak terealisasi di lapangan. Sektor pertanian masih saja tertekan

1. Impor Beras
Kebijakan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono di sektor pertanian dan perdagangan dinilai tidak berhasil mensejahterakan petani. Padahal, 31 Januari 2007 silam, SBY mempunyai misi mensejahterakan petani melalui Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

Peneliti Kepala Kajian Agraria LIPI Lilis Mulyani mengatakan, salah satu kebijakan pemerintah SBY yang mematikan petani adalah kebijakan membuka keran impor hampir sebagian besar produk pertanian. Importasi dinilai sangat berlebihan sehingga petani tidak bisa bersaing.

"Petani tidak dibantu sisi kebijakan. Petani disuruh tanam kedelai, pemerintah banyak impor sama saja bohong. Semua kebijakan harus ikut," ucap Lilis ketika ditemui di LIPI, Jakarta.

Lilis mencontohkan, komoditas lain yang kelebihan impor adalah daging sapi. Dari penilaian Lilis, sebenarnya Indonesia bisa memenuhi kebutuhan daging sapi masyarakat dari sapi lokal. Ini bisa terwujud jika kebijakan pemerintah berkesinambungan dan saling mendukung satu sama lainnya.

"Impor sapi buat apa, sapi kita dari NTB dan NTT kuat sekali. Kenapa kita mengimpor dan mematikan peternak. Kebijakan itu harusnya terkait. Perhatikan saja sekarang," tutupnya singkat.

2. Ketidakberpihakan pada petani kecil
Serikat Petani Indonesia (SPI) menyoroti kebijakan pemerintah Indonesia dalam mengelola pertanian, yang lebih memihak korporasi dan meminggirkan buruh tani serta masyarakat adat. Imbasnya, selama tahun ini, kekerasan dan konflik agraria meningkat dibanding tahun lalu karena ketimpangan akses terhadap pengelolaan lahan.

Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang digadang-gadang sebagai warisan utama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dianggap para pegiat justru gagal melindungi hak petani, dan lebih memperkuat posisi perusahaan agrikultur, misalnya produsen kelapa sawit.

Akibatnya, dari catatan SPI sepanjang tahun ini terdapat 369 konflik agraria di 1,2 juta hektare lahan, melibatkan 139.874 Kepala Keluarga (KK). Korban tewas akibat perselisihan masyarakat dan korporasi ini mencapai 21 orang, ditambah lagi 30 cedera akibat tertembak, 130 menjadi korban penganiayaan, serta 239 orang ditahan oleh aparat keamanan. Dibandingkan 2012, jumlah konflik agraria sepanjang tahun ini meningkat 86,36 persen.

Dengan kata lain, SPI menyimpulkan hampir setiap hari terjadi lebih dari satu konflik agraria di Tanah Air.

3. Gagal sejahterakan petani
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Mei 2013 terdapat penyusutan 5,04 juta keluarga tani. Yakni dari total 31,27 juta keluarga, berkurang menjadi 26,13 juta keluarga. Artinya jumlah keluarga tani susut rata-rata 500.000 rumah tangga per tahun.

Kemudian, juga tercatat, jumlah rumah tangga usaha pertanian mengalami penurunan per tahun sebesar 1,75 persen, dengan total penurunan 5,04 juta rumah tangga dari 2003-2013. Pada tahun 2003 terdapat 31,17 juta rumah tangga (Sensus Pertanian 2003) dan menyusut menjadi 26,13 juta rumah tangga di tahun 2013.

Namun sebaliknya, di periode yang sama, perusahaan pertanian justru bertambah yakni sebanyak 1.475 perusahaan. Dari 4.011 perusahaan per tahun 2003 menjadi 5.486 perusahaan per tahun 2013.

Data tersebut menunjukkan, jumlah petani di Indonesia semakin berkurang, petani gurem bertambah banyak dan sebaliknya jumlah perusahaan pertanian justru meningkat.

"Hal ini menegaskan bahwa pemerintahan SBY gagal mensejahterakan rakyatnya (petani) dan malah berpihak kepada korporasi-korporasi pangan," ujar Ketua Bidang Kebijakan Publik PP KAMMI Arif Susanto.

4. Pemberian anggaran minim
Dalam ruang lingkup kebijakan anggaran, berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2013, alokasi anggaran program sektor pangan sebesar Rp 83 triliun. Yakni mencakup Rp 64,3 triliun untuk stabilisasi harga pangan bagi pemenuhan kebutuhan rakyat dan Rp 18,7 triliun untuk pembangunan infrastruktur irigasi.

"Hal ini masih jauh dari memadai, 3 kali lebih rendah dibandingkan belanja pegawai yang mencapai Rp 241 triliun. Jika mengacu pada ukuran Organisasi Pangan Dunia (FAO), yang mengharuskan dana bagi sektor pertanian suatu negara diharuskan sebesar 20 persen dari total anggaran untuk membiayai anggaran pembangunannya, maka anggaran sektor pangan kita terhitung hanya 7 persen dari total anggaran di APBN 2013 (Rp. 1.657 triliun)," ujar Ketua Bidang Kebijakan Publik PP KAMMI Arif Susanto.

Data ini juga membuktikan adanya keberpihakan pemerintah terhadap petani dan kedaulatan rakyat atas pangan menjadi pertanyaan besar yang tidak terjawab. Diketahui dalam anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga terjadi hal yang sama, yakni hanya 0,003 persen dari total Rp 1.657 triliun. Ironisnya lagi, tidak ada perlindungan negara kepada nelayan tradisional, misalnya melalui mekanisme asuransi, permodalan yang mudah dan aman, serta penyediaan infrastruktur pengolahan ikan yang terhubung dari hulu ke hilir dan antarpulau.

"Kondisi ini menjadikan bebas masuk-keluarnya kapal pelaku pencurian ikan (ilegal, unreported and unregulated fishing) di perairan Indonesia. Sejak tahun 2001 Agustus 2012 sebanyak 2.469 kapal tertangkap. Tak mengherankan, saat sumber daya ikan semakin menipis dan diperburuk dengan meningkatnya praktek pencurian ikan, pemerintah mengambil jalan pintas melalui impor sebanyak 450.000 ton ikan," ujarnya.

Belum lagi masalah alih fungsi lahan pertanian, baik dalam skala lokal maupun nasional yang secara langsung berdampak pada berkurangnya jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian. Alih fungsi lahan pertanian pada gilirannya menyebabkan melemahnya posisi pertanian untuk menopang kebutuhan pangan nasional

5. Data statistik pertanian tak tepat
Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) menuding pemerintah tidak pernah memiliki data statistik pertanian yang akurat. Akibatnya, kebijakan pertanian yang dibuat tidak tepat sasaran.

Sekretaris HIPMI Sari Pramono mencontohkan, data sementara Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan produksi padi mencapai sebesar 68,9 juta ton gabah atau setara 37 juta ton beras.

Sementara, dia menghitung konsumsi beras 237,6 juta penduduk Indonesia sebesar 27 juta ton. Jika asumsinya konsumsi beras per kapita sebesar 113,5 kilogram.

Dengan demikian, menurutnya, seharusnya sudah terjadi swasembada beras di Indonesia, "Tetapi data tersebut ternyata over estimate 9 persen-10 persen. Akibatnya, Bulog tetap mengimpor beras," tuturnya.

Atas dasar itu, Sari menekankan perlunya memperbaiki akurasi data pertanian. "Sejatinya persoalan data tidak menimbulkan polemik, jika sensusnya dilakukan dengan baik menggunakan metodologi yang benar," pungkasnya.

BPS sebagai pemberi data menolak jika hanya pihaknya yang disalahkan. Pasalnya, dalam pengumpulan data pertanian selama ini, BPS juga bersama pihak Kementerian Pertanian.

"Selama ini BPS memberi data jika produktivitas sektor pertanian tinggi dan data ini cukup akurat," ujarnya saat dihubungi merdeka.com di Jakarta, Rabu (9/10) malam.

BPS juga terus berkomitmen untuk memperbarui koleksi data miliknya. Saat ini, BPS mempunyai program bernama Sensus Pertanian. Program ini dipercaya membawa banyak keuntungan bagi sektor pertanian.

Suryamin menyebut, melalui program ini, bantuan pemerintah untuk para petani dalam meningkatkan produktivitasnya akan lebih tepat sasaran. "Kondisi riil pertanian akan terdata melalui program ini," ucapnya.

Selain itu, program ini juga mendorong terwujudnya swasembada pangan yang selama ini dicita-citakan Indonesia. "Ini akan memaksimalkan peran petani oleh pemerintah," imbuhnya.

Kondisi pertanian Indonesia saat ini memang bisa dibilang tragis. Sebagai negara agraris, petani Indonesia justru hidup di bawah garis kemiskinan. 60 persen angka kemiskinan justru didominasi oleh petani yang tersebar di pedesaan.

Sumber : merdeka.com

0 komentar:

Posting Komentar